Rabu, 20 Oktober 2010

Speak Up

Speak Up

Siang ini jam sudah menunjukan pukul 10. Tak lama kemudian, bel tanda istirahat bergema ke seluruh penjuru SMA Pelita. Dan para siswa-siswi berhamburan ke luar dari kelas mereka masing-masing. Kantin adalah tempat tujuan pertama mereka untuk melepas lelah setelah seperempat hari berkutit dengan buku-buku pelajaran. Tak terkecuali 3 siswi jurusan IPS. Yaitu, Dista, Mily, dan Tania. Kini mereka sedang duduk di kantin sambil menikmati jajanan mereka masing-masing tanpa terusik dengan padatnya kantin.
“Guys, gue boleh ngomong sesuatu nggak?” Tanya Mily memecah keasyikan Dista dan Tania yang sedang menyantap jajanannya. Mereka berdua mengangguk tanpa berhenti mengunyah.
“Ini masalah Zaki,” kata Mily ragu-ragu. “Gue belum bisa ‘speak up’ ke dia.” Aku perempuan berkacamata itu sambil tertunduk. Mendengar pengakuan Mily, Dista dan Tania hanya bertukar pandangan sedetik lalu kembali menikmati jajanan mereka tanpa menggubris pengakuan Mily.
Setelah satu menit tak ada tanggapan, Mily protes, “Hei, kalian denger nggak sih?” Dista dan Tania berhenti mengunyah lalu memandang Mily, “Komentarin kek!” Sungut Mily kesal.
“Emang mau di komentarin apa lagi?” Tanya Dista acuh.
“Bukannya kemarin kita udah ngasih saran?“ Tambah Tania tak kalah acuh.
Sejenak Mily terdiam. “Gue nggak berani speak up ke Zaki guys. Gue malu. Gue nggak mau.” Mily mendesah kemudian menundukkan kepalanya.
Beberapa hari belakangan ini Mily memang tengah dilema. Pasalnya, Zaki, cowok yang dua minggu lalu ‘nembak’ dia, kini terkesan menghindar darinya. Mily memang telah ‘menolak’ Zaki karena alasan ingin fokus ujian. Maklum, sekarang mereka kelas 3 SMA. Namun ia tidak mau kalau Zaki menghindar darinya. Sepertinya ia mulai merasa kehilangan Zaki.
“Mily kalau kita boleh jujur, sebenarnya kita berdua tuh udah capek banget ngasih saran terus ke elo. Sementara elo nggak pernah mau nglakuin saran yang kita kasih. Percuma tau!” Semprot Dista tanpa basa-basi kepada Mily. Mily tersentak kaget.
Tania menyikut tangan Dista, lalu menoleh ke arah Mily dan mengklarifikasi, “Emm...Mily, maksudnya Dista itu, kita cuma pengin elo ngikutin saran terakhir kita.” Mily mendongak ragu. “Kita pengin elo speak up ke Zaki.” Lanjut Tania lebih serius.
"Tapi gue nggak mungkin nglakuin itu. Apa kata genk dia kalo gue nyamperin dia?”
Dista menatap Mily garang. “Elo mau dengerin kata teman-teman dia atau mau dengerin kata hati elo sendiri?“
Dengan cepat Tania menahan bahu Dista dan mengisyaratkannya agar ia menahan emosinya. Dengan ekspresi bijak, Tania menelengkan kepalanya ke arah Mily.
“Mily. Ini adalah saran terakhir kita. Kita peduli sama elo. Kita enggak pengin elo cemas karena cuma mikirin Zaki doang. Padahal ujian tinggal sebentar lagi. Kita pengin masalah elo segera selesai.”
Dengan nada santai tapi tegas, Tania berkata lagi, “elo harus speak up!”
Mily terlihat seperti tersambar petir ketika mendengar kata terakhir yang di ucapkan oleh temannya yang memakai kerudung itu. Ia kembali menunduk. Ia tak yakin bisa melakukannya. Namun ia pun tak yakin bisa membantah ucapan teman-temannya. Apalagi emosi Dista sudah tak terkontrol. Maklum, diantara mereka bertiga, Distalah yang lebih emosional.
Dan sepertinya jalan yang harus Mily tempuh kali ini adalah speak up. Ya, memberanikan dirinya speak up kepada Zaki.
Beberapa menit mereka bertiga terdiam. Sampai ketika pandangan Dista tertuju kepada seorang lelaki bersama genknya yang memasuki kantin. Ia langsung tersentak kaget dan melirik Tania yang duduk disebelahnya. Memerintah agar Tania mau mengikuti arah pandangannya juga. Yang tertumpu pada sosok lelaki itu.
Dua detik kemudian Tania berkata pada Mily yang masih tertunduk cemas, “Sekarang saatnya elo harus speak up ke Zaki.” Mily mendongak. Ragu-ragu mengikuti pandangan Tania yang tertuju ke arah lelaki yang sedang berdiri cukup jauh dari mereka. Dan ternyata lelaki berkulit hitam manis itu adalah Zaki.
Merasa tak bisa membantah, Mily segera bangkit dan berjalan perlahan menuju tempat Zaki berdiri bersama genknya. Sekali-sekali ia menoleh ke arah dua temannya di kejauhan. Berharap mereka akan berubah pikiran. Tapi itu tidak akan pernah terjadi.
Sesampainya di dekat Zaki, Mily langsung menyapa Zaki. Walaupun terkesan kaku. Zaki agak terkesiap. Tak menyangka Mily menghampirinya.
“Kita bisa bicara sebentar nggak?” Tanya Mily tanpa basa-basi. Lalu Zaki mengisyaratkan Mily untuk mengikutinya menjauh dari genknya. Walau begitu, Mily masih bisa melihat teman-teman Zaki yang menatap geli atas kedatangannya. Tapi Zaki tak menggubris kelakuan teman-temannya itu.
Setelah merasa aman dari penglihatan orang lain, Mily segera menyatakan maksudnya. “Zaki, gue kesini, mau minta maaf sama elo. Gue tahu selama ini gue selalu sok jual mahal ke elo. Gue juga tau selama ini elo marah sama gue karena keputusan gue nolak elo.” Mily menunduk. Tak berani menatap mata Zaki. “Tapi jujur. Gue nggak suka elo menghindar dari gue. Gue nggak mau elo ngejauhin gue kayak gini!”
“Apa kita nggak bisa jadi seperti dulu lagi? Jadi teman yang akrab. . . tanpa terbatas oleh perasaan?” kali ini Mily mendongak untuk melihat ekspresi Zaki. Lalu ia kembali manunduk ke bawah. “Itu aja yang gue mau omongin Zak. Thanks ya udah mau dengerin gue.” Mily segera berbalik dan berjalan meninggalkan Zaki yang masih terdiam menunduk bagai patung.
“Mily.” Tiba-tiba Zaki memanggil Mily yang belum jauh meninggalkannya. Spontan langkah Mily terhenti dan ia menoleh ke arah Zaki.
Perlahan Zaki maju menghampiri Mily. “Sebenarnya selama ini gue cuma mau menghargai alasan elo nolak gue. Gue cuma nggak mau ganggu konsentrasi belajar elo.” Mata mereka beradu. “Tapi, ternyata cara gue itu salah.” Zaki mendesah, “dan gue pikir, kita bisa memperbaikinya dengan kembali bersahabat.”
“Jadi elo mau maafin gue?” Seru Mily tak percaya.
“Dalam hal ini nggak ada yang perlu dimaafin. Kita cuma salah paham aja kok!”
“Berarti mulai sekarang kita teman ya!” Sahut Mily girang sambil mengulurkan telapak tangan kanannya sebagai tanda persertujuan.
“Oke!!!” Zaki tersenyum hangat sambil membalas uluran tangan Mily.
Setelah cukup lama berjabat tangan, akhirnya mereka berdua menarik tangan mereka masing-masing. Pipi Mily berubah menjadi merah padam. Senyumannya terus mengembang. Kali ini ia tak bisa menyembunyikan perasaan senangnya. Selain ia sudah speak up kepada Zaki, ia juga telah kembali menjalin persahabatannya yang selama ini putus akibat kesalahpahaman.
Kemudian, Mily memilih untuk segera beranjak dari hadapan Zaki.
Sambil melangkah pelan menghampiri ke dua temannya, pikirannya terus melayang mengingat peristiwa ‘bersejarah’ yang baru saja ia alami. Sungguh lega rasanya setelah memberanikan diri speak up kepada Zaki. Hari ini ia telah mendapat pelajaran berharga. Bahwa speak up itu nggak menakutkan seperti yang ia bayangkan. Justru dengan speak up, hati dan pikirannya jadi terasa lebih ringan. Seperti beban-beban yang selama ini dipikulnya, terlepas begitu saja.
Mily mempercepat langkahnya. Tak sabar menceritakan kabar gembira ini kepada Dista dan Tania. Selain itu, ia juga akan berterima kasih kepada mereka berdua. Karena telah memberikannya saran yang sangat bagus. Di kejauhan, Dista dan Tania tengah menunggu kedatangan Mily. Seperti merasa yakin bahwa saran yang mereka berikan telah berhasil, mereka berdua hanya mesem-mesem memandangi Mily yang semakin dekat menghampiri mereka.***


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar