Rabu, 20 Oktober 2010

SALAH PREDIKSI

SALAH PREDIKSI


Tak terasa air mata sudah membendung pelupuk mataku. Perih hati ini sudah tak dapat ditahan. Rasanya sakit dan sedih bercampur menjadi satu. Ubun-ubunku mulai mengeluarkan percikan api. Bara api rasanya sudah berada di kepalan tanganku. Denyut nadiku terasa terpompa begitu cepat. Bola mataku tak henti-hentinya melihat dua makhluk yang ada dihadapanku. Ya, dua makhluk itu adalah Aston, pacarku dan teman sekelasku, Chelsea. Mereka berdua sedang makan di restoran yang sama dimana aku sekarang berada. Mereka telah merusak selera makanku. Apalagi mereka terlihat menikmati kehadiran masing-masing. kehadiranku pun tak cukup menyadari pikiran mereka. Dasar Aston!!! Gue benci sama lo!!!

*
“GUBRAK!!!” kubanting pintu kamar setibanya di rumah.
“Ngapain sih lo pulang-pulang langsung marah gitu!” sahut Kak Fio tak kalah keras. Ternyata dia ada didalam kamar. Memang sebenarnya kamar tidur ini milik kami berdua.
Aku segera membaringkan tubuhku di atas kasur. Menutup wajahku dengan bantal besar. Melihat itu, kak Fio hanya diam dan melanjutkan dengungan mp4 nya. Tak mau dikacangin aku segera mengganti posisiku. Duduk disebelah kakakku satu-satunya. Dan mulai bercerita tentang apa yang barusan kutemui.
“Terus?” tanya Kak Fio acuh tak acuh setelah aku ceritakan masalahku panjang lebar
“Nyolot banget sih!” hatiku dongkol
“Ya, terus kenapa kalau Aston dan Chelsea jalan? Bukannya sekarang lo lagi break sama dia?” memang saat ini aku sedang break dengan Aston. Dan sebenarnya di balik break itu terselubung misi terlarang.
“Iya sih...” aku menunduk lesu. “Tapi kan...kenapa harus sama Chelsea?!” sambungku dengan emosi yang meluap.
“Mana gua tau. Mungkin Chelsea lebih cantik dibanding lo kali!” kata-kata Kak Fio menohok ulu hatiku. Tanpa rasa bersalah dia keluar dari kamar. Meninggalkanku sendiri dengan perasan berdarah-darah.

*
Esoknya, di sekolah. Aku memutuskan untuk mengurung diri di ruang kelas. Walau bel istirahat telah berdering memekakkan telinga, aku tetap saja membatu di kursiku. Masa bodo dengan apa yang akan terjadi. Hingga gempa datang pun tak ada semangat untukku keluar dari kelas ini.
“Lo enggak makan?” tanya Zara
“Hah? Enggak.” aku menjawab dengan lesu.
“Lo ada masalah Sev?” Zara bertanya lagi. Tapi kali ini dia sudah duduk di sebelahku.
“Hah? Enggak kok Zar”
“Kalau ada masalah bicara aja Sev. Mungkin gue bisa bantu.”
Sejenak sunyi. Kemudian aku mengubah posisi dudukku menghadap Zara. Tak kuat aku melihat wajah polos teman baikku itu. Aku menunduk sambil menutup wajahku dengan sepasang telapak tangan. Aku menangis sejadi-jadinya. Masa bodo siapa yang melihatku seperti ini. Saat ini aku sangat sedih dan tak tahu kepada siapa lagi harus kutumpahkan kegalauanku.
“Sevil ada apa? Lo kok nangis?”
Aku sesenggukkan. Aku semakin menenggelamkan tubuhku.
“Lo tenang dulu ya.” Zara mencoba menenangkanku. Hingga beberapa detik kemudian aku sudah bisa mengontrol perasaanku. Aku mulai tenang dan menghapus air mataku. “Sekarang lo bisa cerita.” lanjut cewek yang rambutnya selalu panjang terurai ini.
“Gue...Gu... Gue kemarin ngliat Aston makan bareng Chelsea.” kata-kataku tak tersusun rapi.
“Serius lo?” Zara terkejut bukan main. Ia sama shocknya dengan ku saat melihat kejadian itu dengan mata kepalaku sendiri. “Mungkin lo salah lihat Sev. Mungkin itu bukan Aston”
“Zara. Gue nggak salah lihat. Mereka memang mereka…” suaraku semakin pelan dan menghilang. “Gue benar-benar benci sama Aston! Gue benci dia! Benci! Benci!!!” Teriakku kesal sambil memukul meja tak berdaya.
Melihatku hampir gila tak karuan, Zara kembali menenangkanku. Dia mencoba mengusap pundakku berkali-kali. Namun yang ada aku justru menangis semakin jadi. Tak ku hiraukan banyak sepasang mata yang memperhatikan kami berdua. Aku tak mau tahu apa yang ada dalam pikiran mereka ketika melihatku. Fokusku sekarang adalah Aston! GUE BENCI ASTON!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

*
Entah apa yang sekarang ada dalam pikiranku. Rasanya tak ada orang yang mengerti diriku. Serasa berjalan di gurun pasir. Sendiri, kesepian, kehausan, kelaparan menyatu tak karuan. Ingin mencari jalan keluar. Tapi tidak pernah menemukannya. Mendekatinya saja rasanya mustahil. Aku terjebak dalam kegalauanku sendiri.
“Sevil” seseorang memanggil dari balik punggungku.
Sepelan mungkin aku menoleh. Ekspresiku datar. Ternyata Aston. Dia terkejut melihat keadaanku. Wajahnya berubah prihatin. Tanpa bicara dia menarik tanganku ke bangku tak jauh dari tempat kami sekarang. Namun tak tahu kekuatan dari mana tanganku memberontak. Ku tahan air mataku yang hampir meledak. Segera langkah kaki ku percepat menjauh dari cowok yang sudah 5 bulan menjadi pacarku itu. Aku masih sakit hati dengan Aston. Aku tak mau bertemu dengannya.
Malamnya, Bunda mengompres dahiku. Aku sakit. Demamku tinggi. Badanku menggigil hebat. Rasanya balok-balok es serasa mengelilingiku. Kelopak mataku terasa berat untuk dibuka.
“Lo sakit apa de?” tanya Kak Fio setelah Bunda keluar dari kamar. Ia langsung berkaca diri di depan cermin. Pakaiannya terlihat rapi. Sepertinya dia ingin pergi. Malam-malam begini?
Aku tak menjawab pertanyaannya
“Sakit hati kali tuh” sahut Kak Fio setengah menggoda. Bikin naik darah saja. Kalau nggak sakit kayak gini udah ku panggil Bunda biar dia di usir dari hadapanku. Apa daya pita suaraku saja seperti tak berfungsi karena lemahnya tubuhku.
“Gara-gara Aston ya? Mungkin dia emang udah jadian kali sama...siapa tuh namanya. Chelsea ya? Iya Chelsea,.” cewek ini mulai cari gara-gara. “Lo sih pake break-break segala! Sok laku lo!” ingin banget tuh anak gue cakar-cakar. “Secara, Aston tuh lumayan ganteng, anak futsal, anak IPA pula. Setia lagi. Apa coba yang kurang. Mungkin kekurangannya cuma satu. Jadian sama lo kali. huaahhhhaaa “ tawanya membahana. Tak disangka aku nangis sejadi-jadinya. Bantal berbentuk bola ku lempar tepat mengenai kepalanya. Lihat saja, kakakku sendiri tak mendukungku. Hatiku remuk serasa dilindas roda bajaj!
“Waduh” ku mendengar keluhannya setelah tangisanku pecah.
Tak tahu dia menyesal atau sekedar menyelamatkan dirinya dari amarah Bunda, Kak Fio segera menghampiriku. Dia bermaksud menenangkanku. “Ade. Gue Cuma bercanda doang kok. Jangan nangis dong. Plis..plis” ucapannya tak bisa menahan raunganku.
“Gue minta maaf de.” kata Kak Fio dengan posisi berlutut di pinggir tempat tidur sehingga kepalanya tepat sejajar menghadap kepalaku.
Aku masih sesenggukan. “Maksud gue tuh. Lo jangan sampai sakit gini cuma gara-gara mikirin Aston dan Chelsea dong. Rugi tau! Rugi waktudan perasaan”
“Mungkin Aston dan Chelsea cuma jalan biasa. Kan kalian lagi break. Nggak mungkin kan Aston memohon ngajak lo jalan. Sedangkan lo sendiri yang minta break. Gengsi euy” Kak Fio mencoba melawak. Tangisanku mulai berhenti. Dia menghapus air mataku dengan tangannya. *so sweet banget.
“Sekarang nggak usah mikirin mereka dulu. Pikirin kesehatan lo. Setelah sembuh baru labrak dia!” sahutnya lebay ala Fitri Tropica. Aku jadi tertawa. Soal lebay memang jagonya kak Fio. “Ya sudah, cepat sembuh ya adikku sayang. Gue mau jalan bareng temen-temen gue. Cao!” setelah mencium keningku dia melenggang keluar kamar. Amarah yang tadi meluap kini surut sudah. Kakak yang aneh. Pikirku singkat dengan senyuman mengembang.

*
Esok setelah pulang sekolah aku tidak dapat pulang tepat waktu, pasalnya hari ini ada latihan band. Kebetulan aku adalah personil dari salah satu band di sekolahku. Merci Band namanya. Aku mengambil alih gitaris. Karena keahlianku itu guru musik di sekolah mengajakku bergabung dengan cowok-cowok yang sudah lebih dahulu berkecimpung di Merci band. Yaitu sebagai vokalis adalah Roma. Bassist adalah Valen. Dan Drummer adalah Kia. Yup, hanya aku yang menyandang cewek tercantik disana. Yaiyalah. Kan hanya aku yang cewek.
Tapi percaya atau tidak, dengan menjadi satu-satuya cewek dalam band sangat mengasyikan. Bisa tampil paling beda sendiri dan tentunya akan menjadi bahan sirikan siswi-siswi satu sekolah karena bisa akrab dengan cowok-cowok yang terkenal dan ganteng-ganteng. Nggak terkecuali frontman bandku. Siapa lagi kalau bukan Roma.
Roma adalah cowok yang paling dekat denganku dibanding Valen dan Kia. Dia cowok yang baik, ramah, seru dan tempat bertukar pikiran. Justru kita sering nge-jam bersama tanpa dua personil lainnya. Namun, karena keakraban kita sekarang aku terjebak dalam perasaan terlarang. Akhir-akhir ini aku menyadari memiliki perasaan yang lebih pada Roma. Padahal aku tahu bahwa masih ada Aston di sisiku. Tapi akibat intensitas waktu yang lebih banyak kuhabiskan bersama Roma membuatku berani untuk mengambil jalan selingkuh.
Dan puncaknya, dua minggu yang lalu aku memutuskan break dengan Aston. Alasanku padanya adalah aku terlalu sibuk dengan bandku. Jadi aku khawatir tak bisa memberinya perhatian khusus. Awalnya Aston menolak dengan keras. Namun setelah aku ngotot bukan main akhirnya dia menyetujuinya. Padahal sebenarnya ini hanya strategiku untuk memutuskan Aston secara perlahan. Aku tak mungkin memutuskannya tanpa sebab.
Dan kejadian Aston makan bersama Chelsea seharusnya menjadi berkah tersendiri untukku. Namun entah mengapa aku malah cemburu seperti ini. Padahal inilah kesempatan yang pas untukku memutuskan hubungan kemi dan menyediakan ruang hati untuk Roma.
Dua minggu itu aku habiskan hari-hariku bersama Roma. Kami sudah bisa dibilang dalam tahap PDKT. Hanya menunggu waktu untuknya agar menembakku. Namun hingga detik ini moment itu tak kujung tiba. Perlahan Roma mulai menjauh dariku. Aku tak tahu pasti apa yang terjadi padanya. Kami yang biasanya mengobrol saat istirahat kini tak lagi seperti itu. Atau yang biasanya ia rutin menelponku setiap malam kini dering telepon darinya tak terdengar lagi.
Seperti hari ini. Kami semua tidak mood untuk latihan. Padahal latihan ini sangat penting untuk menyambut kepala sekolah yang baru. Valen sibuk dengan hpnya. Kia memainkan drumnya tak beraturan. Sedangkan Roma entah kemana. Karena ruangan beraura pasif, aku pun keluar ruangan dan melangkahkan kaki ke kantin. Disana aku memesan minuman dan duduk di kursi sendirian.
Ketika sedang sibuk mengaduk minuman, tiba-tiba seseorang menyapaku dari arah belakang. “Hei, kok belum pulang?” ternyata suara itu berasal dari bibir Aston. Aku mati gaya melihat kedatangannya. Sudah lama tak bertemu dengannya.
“Heh? Iya. Ada latihan band.” Aku pura-pura sibuk mengaduk minuman. “Lo sendiri, belum pulang?”
“Iya ada latihan futsal. Nih baru selesai.” ia menjawab dengan santai. Seakan tidak pernah terjadi masalah diantara kita.
“Ohh...”
“Udah lama ya enggak ngobrol berdua kayak gini. Gemana kabar kamu?” tanya Aston sambil menaruh tas diatas meja. Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya. Kata ‘kamu’ itu membuatku tersentak.
“Baik kok. Lo sendiri?”
“Baik juga.” Lalu a melihat ke arah minumanku. “Bukannya kata Kak Fio kamu baru sembuh sakit? Kok minumnya es sih?” tiba-tiba Aston menjauhkan gelas itu dari hadapanku.
“Sok tahu banget sih lo!” aku menarik kembali gelasnya ke tempat semula. “Lagian sok tahu banget kalau gue baru sembuh.” lanjutku ketus.
“Aku tahu dari Kak Fio. Kamu sih nggak pernah nerima telepon dari aku. Makanya aku telepon Kak Fio untuk nanya keadaan kamu.” dia menjelaskan.
Aku memutar bola mataku. Mencibir. “Emang lo masih peduli sama gue?” aku masih tak menatapnya. “Bukannya lo pedulinya sama Chelsea? Anak cheers.” sahutku ketus. Kali ini aku menekankan kata Chelsea dan cheers agar Aston lebih mengerti arah pembicaraanku.
“Chelsea?”
“Nggak usah pura-pura bodoh deh!”
“Sumpah. Aku nggak ngerti apa maksud kamu.”
Ekspresiku mulai masam. “Halah. Enggak usah bohong deh! Belum lama ini lo makan sama Chelsea di resto kan?!”
“Resto?” Aston berpikir sejenak. “Oh itu. Gue dan Chelsea memang makan di resto. Kita nggak sengaja ketemu.”
Walaupun Aston telah menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Tapi tetap saja amarahku belum redup. Sepertinya inilah saat yang tepat untuk memojokkan Aston. “Tapi mesra banget ya. Sampai nggak ngeliat gue.” Aku mencoba mencari kesalahannya.
“Ya ampun. Aku memang bener nggak ngeliat kamu Sev..”
“Alasan!!!” kataku sambil bangkit dari kursi. “Bilang aja kalau lo udah jadian sama Chelsea!” aku berjalan meninggalkan Aston. Namun dengan secepat kilat dia menyusulku.
“Kamu tuh salah Sev. Aku nggak pernah ada hubungan lebih sama Chelsea. Kita murni sahabat” sambil menyejajarkan langkahnya ia menyangkal.
“Tapi kamu tuh udah deket banget sama dia! Lagian nggak apa-apa kok kalau kamu jadian sama dia. Gue tahu dia cantik, terkenal, anak cheers lagi. Beda sama gue.” kataku tak mau kalah. Aku terus mencari kesalahan Aston agar aku bisa secepatnya memutuskan hubungan kami.
“Oke. Terserah kamu mau bilang apa. Tapi apa bedanya dengan hubungan kamu dan Roma?”
Langkahku terhenti. Aku tersentak mendengar pertanyaan Aston. Kenapa dia bisa bertanya seperti itu. Aku menoleh ke arahnya. Dia menunggu jawabanku.
“Gue sama Roma cuma temenan”
“Sedekat itu cuma temenan?”
“Ya... emang kami...temenan” aku tergagap.
Pembicaraan kita terhenti. Tak ada siapa-siapa diantara kami. Sunyi.
Aston memutar bola matanya. Dia tampak menghela nafas berkali-kali. “Sebenarnya kamu tuh kenapa sih Sev?” ia menatapku dengan serius. “Kayaknya ada yang beda sama kamu. Dari kita break sampai sekarang ada yang kamu sembunyikan kan?” ia mencoba mengontrol emosinya.
Aku yang melihatnya seperti itu nampak kebingungan. Apa yang harus aku katakan.
Setelah beberapa detik, dengan mengalihkan pandangan. Aku menguatkan diri untuk mengatakan yang sebenarnya. “Ton. Sebenarnya.” ujarku gugup. “Sebenarnya gue...gu..e.. gue bosen sama lo!” kata-kata itu meluncur bagai roller coaster dari bibirku. Aku menunduk. Rasanya aku tak tega melihat wajah Aston yang tak berdosa.
“Bosan kenapa?” masih ada jawaban dari cowok itu walaupun lebih pelan.
Kepalaku terangkat. “Bosan aja. Gue juga sadar. Gue nggak pernah sayang sama lo.” Kata-kataku langsung meluncur cepat. “Waktu itu gue nerima lo karena emosi. Dan gue sadar gue nggak sayang sama lo.” aku memberi alasan.
“Lo suka sama cowok lain?” hardiknya.
“Ehm... iya.” Aku menjawab dengan mantap. “Mending kita putus aja. Gue juga udah males break kayak gini. Daripada dipaksain” sahutku acuh tak acuh.
Aston terdiam. Mungkin schok. Aku sempat melihat matanya berkaca-kaca. Tak pernah sebelumnya aku melihat ekspresi Aston seperti itu. Kemudian aku alihkan kedua bola mataku dari pandangan itu. Rasanya aku ingin mengatakan maaf. Namun bibirku sangat kelu. Aku menggenggam erat tangkai tasku.
“Oke kalau itu mau lo. Gue harap lo nggak salah ambil keputusan.” ujar Aston pelan. Dia segera kabur dari penglihatanku. Langkah tegapnya kini tak akan pernah lagi setia di sampingku. Kami telah putus.
Aku segera tersadar dari lamunanku melihat cowok yang sekarang resmi menjadi mantanku itu. “Ternyata ngomong seperti itu nggak susah-susah amat” kataku dalam hati. “Yang penting gue udah resmi putus dari Aston. Sekarang gue bebas!!!! Yes, inilah saatnya....” lanjutku berbicara dengan hatiku sendiri. Kali ini senyuman puas mengembang di bibirku. Sungguh setelah melakukan itu, aku sungguh merasa lega dan bahagia. Aku bak burung yang baru lepas dari sangkarya dan tak memikirkan hati sang pemilik burung.
Kemudian aku melangkah mantap ke ruang seni untuk menemui Roma. Akan kuceritakan status terbaruku padanya. Aku yakin dia pasti senang dan tak perlu menunggu waktu lama lagi untuk menembakku.
Hingga beberapa langkah lagi tiba di mulut pintu ruang seni aku justru melihat Roma melenggang tergesa-gesa ingin meninggalkan ruang seni. Segera ku panggilnya.
“Rom, emang latihannya udah selesai?”
“Hei, lo kemana aja. Gue cari-cari” katanya. Dia membuatku tersanjung. “Latihannya di cancel. Valen dan Kia pada cabut. Katanya ada urusan.”
“Ohh...Tadi gue baru dari kantin.” Aku sedikit salting. “Oya, ada yang mau gue ceritain sama lo sekarang”
“Hah?” Roma agak terkejut. “Aduh, kalau sekarang gue nggak bisa Sev.” Aston menolak.
“Emang kenapa?!” aku pun tak kalah terkekejut hingga nada suaraku naik 3 oktaf.
“Gue...gue ada urusan...” Aston sedikit gugup. Apa yang ingin ia katakan. “Aduh gimana ngomongnya ya...” dia bicara pada dirinya sendiri. Aku masih menunggu penuh heran. “Sebenarnya sekarang gue bakal pulang bareng Regina.” dia sedikit berbisik ke arahku.
“Regina? Pulang bareng?” sangat lirih aku mengatakan 3 kata itu. Regina anak cheers.
“Iya... kemarin gue nembak dia Sev.” Kali ini aku melihat bara semangat di bola matanya. “Dan sekarang katanya dia mau kasih jawaban! Gue deg-degan banget Sev! Doain gue ya. Semoga aja dia mau nerima gue jadi pacarnya” seakan-akan harapan yang diucapkan cowok berkulit putih ini menohok ulu hatiku hingga menembus tulang punggungku.
Aku terpaku di hadapannya. Seharusnya aku senang bila lelaki pujaan hatiku ini senang. Namun rasanya mata ini tak dapat ku pejamkan. Seakan-akan mendengar guntur di siang bolong. Keegoisan dalam diriku jauh lebih mendominasi emosiku. Mataku layu. Jantungku seakan berhenti. Darahku rasanya tersumbat. Kakiku seolah membeku. Ingin rasanya aku memberontak pada Roma. Kenapa harus Regina! Apa maksudnya selama ini kau memberikan harapan padaku?! Ingin rasanya aku segera menghilang dari tatapannya. Aku sakit. Hatiku sakit sekali.
Roma melihat jarum jam tangannya. “Sori banget ya Sev. Gue buru-buru. Gemana kalau nanti malam gue ke rumah lo atau telepon lo. dada” dia melambaikan tangannya meninggalkanku sendiri di tengah-tengah lorong yang dingin. Dia tak akan pernah tahu isi hatiku. Dan dia menganggapku hanya sekedar teman. Padahal aku menganggapnya sangat lebih dari itu.

*
Malam harinya aku mengurung diri di kamar. Tak kubiarkan siapa pun menggangguku kali ini. Meskipun Bunda dan Ayah memanggilku terus-menerus untuk sekedar makan, aku tak mempedulikannya. Atau usaha kak Fio yang pura-pura sudah mengantuk dan ingin tidur, aku pun tak menggubrisnya. Hari ini sungguh menyakitkan.
Sekarang disampingku ada segulung tisu. Sedari tadi aku menangis atas kesalahan yang ku perbuat. Aku telah memutuskan hubungan yang tak berdosa dengan Aston hanya untuk mendapatkan sebongkah hati dari pria yang ternyata tak pernah menyimpan perasaan lebih terhadapku. Betapa sakitnya hatiku.
Namun setelah ku berpikir panjang, sakit hatiku ini tak ada apa-apanya dengan sakit yang dirasakan Aston. Dia telah aku putuskan dengan sangat tidak terhormat. Dia yang tak pernah memliki salah justru yang menanggung ini semua. Ternyata air mata yang aku jatuhkan adalah untuk Aston. Aku tahu aku telah salah memutuskannya. Ini gara-gara hasrat terlarang mendapatkan Roma. Sekarang aku harus menganggung akibat semuanya. Aku tak mendapatkan siapa-siapa. Tak ada Aston yang selalu siap bersamaku, begitu pula Roma yang selalu menghiburku. Aku sungguh merugi. Kini aku sangat menyesal. Aku salah memprediksi semuanya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar