Rabu, 20 Oktober 2010

this is me!

Speak Up

Speak Up

Siang ini jam sudah menunjukan pukul 10. Tak lama kemudian, bel tanda istirahat bergema ke seluruh penjuru SMA Pelita. Dan para siswa-siswi berhamburan ke luar dari kelas mereka masing-masing. Kantin adalah tempat tujuan pertama mereka untuk melepas lelah setelah seperempat hari berkutit dengan buku-buku pelajaran. Tak terkecuali 3 siswi jurusan IPS. Yaitu, Dista, Mily, dan Tania. Kini mereka sedang duduk di kantin sambil menikmati jajanan mereka masing-masing tanpa terusik dengan padatnya kantin.
“Guys, gue boleh ngomong sesuatu nggak?” Tanya Mily memecah keasyikan Dista dan Tania yang sedang menyantap jajanannya. Mereka berdua mengangguk tanpa berhenti mengunyah.
“Ini masalah Zaki,” kata Mily ragu-ragu. “Gue belum bisa ‘speak up’ ke dia.” Aku perempuan berkacamata itu sambil tertunduk. Mendengar pengakuan Mily, Dista dan Tania hanya bertukar pandangan sedetik lalu kembali menikmati jajanan mereka tanpa menggubris pengakuan Mily.
Setelah satu menit tak ada tanggapan, Mily protes, “Hei, kalian denger nggak sih?” Dista dan Tania berhenti mengunyah lalu memandang Mily, “Komentarin kek!” Sungut Mily kesal.
“Emang mau di komentarin apa lagi?” Tanya Dista acuh.
“Bukannya kemarin kita udah ngasih saran?“ Tambah Tania tak kalah acuh.
Sejenak Mily terdiam. “Gue nggak berani speak up ke Zaki guys. Gue malu. Gue nggak mau.” Mily mendesah kemudian menundukkan kepalanya.
Beberapa hari belakangan ini Mily memang tengah dilema. Pasalnya, Zaki, cowok yang dua minggu lalu ‘nembak’ dia, kini terkesan menghindar darinya. Mily memang telah ‘menolak’ Zaki karena alasan ingin fokus ujian. Maklum, sekarang mereka kelas 3 SMA. Namun ia tidak mau kalau Zaki menghindar darinya. Sepertinya ia mulai merasa kehilangan Zaki.
“Mily kalau kita boleh jujur, sebenarnya kita berdua tuh udah capek banget ngasih saran terus ke elo. Sementara elo nggak pernah mau nglakuin saran yang kita kasih. Percuma tau!” Semprot Dista tanpa basa-basi kepada Mily. Mily tersentak kaget.
Tania menyikut tangan Dista, lalu menoleh ke arah Mily dan mengklarifikasi, “Emm...Mily, maksudnya Dista itu, kita cuma pengin elo ngikutin saran terakhir kita.” Mily mendongak ragu. “Kita pengin elo speak up ke Zaki.” Lanjut Tania lebih serius.
"Tapi gue nggak mungkin nglakuin itu. Apa kata genk dia kalo gue nyamperin dia?”
Dista menatap Mily garang. “Elo mau dengerin kata teman-teman dia atau mau dengerin kata hati elo sendiri?“
Dengan cepat Tania menahan bahu Dista dan mengisyaratkannya agar ia menahan emosinya. Dengan ekspresi bijak, Tania menelengkan kepalanya ke arah Mily.
“Mily. Ini adalah saran terakhir kita. Kita peduli sama elo. Kita enggak pengin elo cemas karena cuma mikirin Zaki doang. Padahal ujian tinggal sebentar lagi. Kita pengin masalah elo segera selesai.”
Dengan nada santai tapi tegas, Tania berkata lagi, “elo harus speak up!”
Mily terlihat seperti tersambar petir ketika mendengar kata terakhir yang di ucapkan oleh temannya yang memakai kerudung itu. Ia kembali menunduk. Ia tak yakin bisa melakukannya. Namun ia pun tak yakin bisa membantah ucapan teman-temannya. Apalagi emosi Dista sudah tak terkontrol. Maklum, diantara mereka bertiga, Distalah yang lebih emosional.
Dan sepertinya jalan yang harus Mily tempuh kali ini adalah speak up. Ya, memberanikan dirinya speak up kepada Zaki.
Beberapa menit mereka bertiga terdiam. Sampai ketika pandangan Dista tertuju kepada seorang lelaki bersama genknya yang memasuki kantin. Ia langsung tersentak kaget dan melirik Tania yang duduk disebelahnya. Memerintah agar Tania mau mengikuti arah pandangannya juga. Yang tertumpu pada sosok lelaki itu.
Dua detik kemudian Tania berkata pada Mily yang masih tertunduk cemas, “Sekarang saatnya elo harus speak up ke Zaki.” Mily mendongak. Ragu-ragu mengikuti pandangan Tania yang tertuju ke arah lelaki yang sedang berdiri cukup jauh dari mereka. Dan ternyata lelaki berkulit hitam manis itu adalah Zaki.
Merasa tak bisa membantah, Mily segera bangkit dan berjalan perlahan menuju tempat Zaki berdiri bersama genknya. Sekali-sekali ia menoleh ke arah dua temannya di kejauhan. Berharap mereka akan berubah pikiran. Tapi itu tidak akan pernah terjadi.
Sesampainya di dekat Zaki, Mily langsung menyapa Zaki. Walaupun terkesan kaku. Zaki agak terkesiap. Tak menyangka Mily menghampirinya.
“Kita bisa bicara sebentar nggak?” Tanya Mily tanpa basa-basi. Lalu Zaki mengisyaratkan Mily untuk mengikutinya menjauh dari genknya. Walau begitu, Mily masih bisa melihat teman-teman Zaki yang menatap geli atas kedatangannya. Tapi Zaki tak menggubris kelakuan teman-temannya itu.
Setelah merasa aman dari penglihatan orang lain, Mily segera menyatakan maksudnya. “Zaki, gue kesini, mau minta maaf sama elo. Gue tahu selama ini gue selalu sok jual mahal ke elo. Gue juga tau selama ini elo marah sama gue karena keputusan gue nolak elo.” Mily menunduk. Tak berani menatap mata Zaki. “Tapi jujur. Gue nggak suka elo menghindar dari gue. Gue nggak mau elo ngejauhin gue kayak gini!”
“Apa kita nggak bisa jadi seperti dulu lagi? Jadi teman yang akrab. . . tanpa terbatas oleh perasaan?” kali ini Mily mendongak untuk melihat ekspresi Zaki. Lalu ia kembali manunduk ke bawah. “Itu aja yang gue mau omongin Zak. Thanks ya udah mau dengerin gue.” Mily segera berbalik dan berjalan meninggalkan Zaki yang masih terdiam menunduk bagai patung.
“Mily.” Tiba-tiba Zaki memanggil Mily yang belum jauh meninggalkannya. Spontan langkah Mily terhenti dan ia menoleh ke arah Zaki.
Perlahan Zaki maju menghampiri Mily. “Sebenarnya selama ini gue cuma mau menghargai alasan elo nolak gue. Gue cuma nggak mau ganggu konsentrasi belajar elo.” Mata mereka beradu. “Tapi, ternyata cara gue itu salah.” Zaki mendesah, “dan gue pikir, kita bisa memperbaikinya dengan kembali bersahabat.”
“Jadi elo mau maafin gue?” Seru Mily tak percaya.
“Dalam hal ini nggak ada yang perlu dimaafin. Kita cuma salah paham aja kok!”
“Berarti mulai sekarang kita teman ya!” Sahut Mily girang sambil mengulurkan telapak tangan kanannya sebagai tanda persertujuan.
“Oke!!!” Zaki tersenyum hangat sambil membalas uluran tangan Mily.
Setelah cukup lama berjabat tangan, akhirnya mereka berdua menarik tangan mereka masing-masing. Pipi Mily berubah menjadi merah padam. Senyumannya terus mengembang. Kali ini ia tak bisa menyembunyikan perasaan senangnya. Selain ia sudah speak up kepada Zaki, ia juga telah kembali menjalin persahabatannya yang selama ini putus akibat kesalahpahaman.
Kemudian, Mily memilih untuk segera beranjak dari hadapan Zaki.
Sambil melangkah pelan menghampiri ke dua temannya, pikirannya terus melayang mengingat peristiwa ‘bersejarah’ yang baru saja ia alami. Sungguh lega rasanya setelah memberanikan diri speak up kepada Zaki. Hari ini ia telah mendapat pelajaran berharga. Bahwa speak up itu nggak menakutkan seperti yang ia bayangkan. Justru dengan speak up, hati dan pikirannya jadi terasa lebih ringan. Seperti beban-beban yang selama ini dipikulnya, terlepas begitu saja.
Mily mempercepat langkahnya. Tak sabar menceritakan kabar gembira ini kepada Dista dan Tania. Selain itu, ia juga akan berterima kasih kepada mereka berdua. Karena telah memberikannya saran yang sangat bagus. Di kejauhan, Dista dan Tania tengah menunggu kedatangan Mily. Seperti merasa yakin bahwa saran yang mereka berikan telah berhasil, mereka berdua hanya mesem-mesem memandangi Mily yang semakin dekat menghampiri mereka.***


TAMAT

Makin Suka

Makin Suka

“Apa sih yang anak cowok obrolin kalau lagi ngumpul?” Mona iseng bertanya kepada segerombolan anak cowok di hadapannya.
“Ngomongin kamu” jawab salah seorang. Sontak suasana disekitar menjadi sunyi. Ternyata yang menjawabnya adalah Geo. Gebetan Mona!
“Jieilehhhh… romantis beeddd” sorak cowok-cowok itu memberondong Mona dan Geo.
Ya, sejak saat itulah hati Mona deg-degan, senang, takut kehilangan, dan aneka rasa lainnya ketika berpapasan dengan Geo. Cowok manis itu memang bukan dambaan seluruh siswi satu sekolah. Namun cowok yang mirip aktor shia laBeouf itu sudah sejak lama hinggap dihati mona.
Karena itulah belakangan hari ini Mona bersolek dan berbakaian lebih rapi. Khususnya ketika berpapasan langsung dengan Geo. Apalagi mereka sekelas dan pastinya menambah ke-grogi-an cewek berkulit kuning langsat ini.
Ketika ada pembagian kelompok Fisika mereka berdua satu kelompok dengan dua orang lainnya. Dan hanya Mona cewek satu-satunya di kelompok itu. Betapa kesal dan senangnya Mona. Pasalnya ia tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya saat ia ditakdirkan satu kelompok dengan Geo yang ia impikan selama ini. Tapi ia juga kesal karena dua cowok selain Geo justru terkenal pemalas dan di’ramalkan’ tidak dapat membantu tugas fisika itu karena faktor malas.
Benar saja. dua hari kemudian tugas itu diputuskan untuk dikerjakan di rumah Mona. Namun hingga dua jam telah berlalu, hanya Geo yang datang. Tak bisa dibayangkan betapa saltingnya gadis yang memakai kawat gigi itu dihadapannya.
“Kayaknya Toti sama Randa nggak bakal dateng.” tutur Geo mencairkan suasana. “Daripada buang-buang waktu, mending kita mulai duluan aja!” ajak cowok yang memakai celana jins dan kaos putih itu sambil membuka bukunya.
Mona langsung tergesa-gesa membuka bukunya. Ia makin salting. “Aduh, dua anak itu pada kemana sih??? Gue kan jadi mati kutu gini” batin Mona. “Ya Tuhan, beri aku kekuatan untuk melewati hari ini dengannya” harap Mona sambil terus membolak-balik asal bukunya.
Satu jam kemudian tugas fisika mengenai listrik itu telah selesai. Kemudian Mona beranjak ke dapur dan kembali ke hadapan Geo dengan membawa kue brownis dan dua gelas sirup. Tiba-tiba tanpa disengaja kaki Mona tersantuk ujung kaki meja dan sirup yang sedang ia bawa tumpah tepat diatas kertas tugas yang baru saja mereka selesaikan.
“YA AMPUUUUNNNNN!!!” teriak mereka berbarengan.
“Ya ampun” Mona langsung menyambar kertas itu dan mengibaskannya diatas angin. “Dodol banget sih gue. Aduh gemana dong” hardik Mona pada dirinya sendiri.
“Hhhhhaaaaaa. Akhirnya bersuara juga.” tutur Geo dengan tawanya yang geli.
Mona terbengong. “Maksudnya?“ ia masih tak mengerti apa yang baru Geo katakan. “Tugas kacau kok malah ketawa“ Mona kembali sibuk mengibaskan kertas itu agar kering ditiup angin. Padahal semua orang juga tahu kalau kertas yang sudah ketumpahan sirup pasti tidak akan bisa kembali seperti sedia kala.
Kemudian mereka berdua sibuk membersihkan noda di kertas itu. Setengah jam telah berlalu. Dua orang itu masih saja terpaku melihat secarik kertas yang tak berdaya itu. Suasana hening.
“Maaf ya Geo. Gue janji bakal ngurus ini. Dan tetap ngumpulin tugas ini besok.” janji Mona pada lelaki yang masih terdiam di sebelahnya.
“Santai aja kali. Gue juga masih inget apa aja yang tertulis di sana” dagu Geo mengarah ke kertas yang sudah berubah warna menjadi merah muda itu.
Mona tertunduk lesu. “Ini kebodohan gue. Jadi gue harus bertanggung jawab”
“Oke. Kalau itu yang lo mau.” ujar lelaki yang suka warna coklat itu sambil merubah posisi duduknya. “Tapi kalau ada kesulitan, lo hubungi gue aja ya. Nih nomor hape gue.” lanjutnya dengan menuliskan beberapa nomor diatas buku Mona yang terbuka.
Mona terbengong. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja lelaki pujaannya itu lakukan. Beberapa detik kemudian ia tersadar ketika Geo pamit pulang.
“Oke. Hati-hati ya Geo. Makasih udah mau datang dan...“
“Lha itu kan udah kewajiban kita sebagai kelompok. Dua orang itu aja yang nggak bertanggung jawab“ potong Geo sambil mengambil tasnya.
“Dan tentang kertas itu...“
“Iye...iye... santai aja kali.” Seru Geo dengan senyuman manisnya.
Hingga sampai di pintu pagar
“Makasih juga ya...” kata Geo pelan
“Makasih? Apa?
“Karena udah mau bicara sama gue. Gue kira selama ini lo marah sama gue karena kata-kata gue yang waktu lagi bareng anak-anak itu. Gue tau itu nggak pantes gue ucapkan. Pasti lo malu banget. ” jelas Geo dengan kepala tertunduk
“Yang... Ohh...” Mona sudah mengerti arah pembicaraan Geo.
“Oke. Bye” Geo menutup hari itu dengan senyum manis dihadapan Mona.
Mona speachless. Seperti tersengat listrik 200 volt ia terpaku melihat bayangan Geo yang semakin detik semakin menghilang. Ia masih tak percaya hari ini. Apa yang dilakukannya sepanjang hari ini. Apa yang baru saja dikatakan Geo hari ini.
“Dia kira aku marah sama dia???” tanya Mona pada hatinya sendiri. Sambil senyum-senyum centil, perlahan perempuan penyuka hamster ini masuk ke rumahnya. Dari dalam rumah besar itu tiba-tiba terdengar teriakan “Aku semakin suka sama kamu Geo!!!!”

SALAH PREDIKSI

SALAH PREDIKSI


Tak terasa air mata sudah membendung pelupuk mataku. Perih hati ini sudah tak dapat ditahan. Rasanya sakit dan sedih bercampur menjadi satu. Ubun-ubunku mulai mengeluarkan percikan api. Bara api rasanya sudah berada di kepalan tanganku. Denyut nadiku terasa terpompa begitu cepat. Bola mataku tak henti-hentinya melihat dua makhluk yang ada dihadapanku. Ya, dua makhluk itu adalah Aston, pacarku dan teman sekelasku, Chelsea. Mereka berdua sedang makan di restoran yang sama dimana aku sekarang berada. Mereka telah merusak selera makanku. Apalagi mereka terlihat menikmati kehadiran masing-masing. kehadiranku pun tak cukup menyadari pikiran mereka. Dasar Aston!!! Gue benci sama lo!!!

*
“GUBRAK!!!” kubanting pintu kamar setibanya di rumah.
“Ngapain sih lo pulang-pulang langsung marah gitu!” sahut Kak Fio tak kalah keras. Ternyata dia ada didalam kamar. Memang sebenarnya kamar tidur ini milik kami berdua.
Aku segera membaringkan tubuhku di atas kasur. Menutup wajahku dengan bantal besar. Melihat itu, kak Fio hanya diam dan melanjutkan dengungan mp4 nya. Tak mau dikacangin aku segera mengganti posisiku. Duduk disebelah kakakku satu-satunya. Dan mulai bercerita tentang apa yang barusan kutemui.
“Terus?” tanya Kak Fio acuh tak acuh setelah aku ceritakan masalahku panjang lebar
“Nyolot banget sih!” hatiku dongkol
“Ya, terus kenapa kalau Aston dan Chelsea jalan? Bukannya sekarang lo lagi break sama dia?” memang saat ini aku sedang break dengan Aston. Dan sebenarnya di balik break itu terselubung misi terlarang.
“Iya sih...” aku menunduk lesu. “Tapi kan...kenapa harus sama Chelsea?!” sambungku dengan emosi yang meluap.
“Mana gua tau. Mungkin Chelsea lebih cantik dibanding lo kali!” kata-kata Kak Fio menohok ulu hatiku. Tanpa rasa bersalah dia keluar dari kamar. Meninggalkanku sendiri dengan perasan berdarah-darah.

*
Esoknya, di sekolah. Aku memutuskan untuk mengurung diri di ruang kelas. Walau bel istirahat telah berdering memekakkan telinga, aku tetap saja membatu di kursiku. Masa bodo dengan apa yang akan terjadi. Hingga gempa datang pun tak ada semangat untukku keluar dari kelas ini.
“Lo enggak makan?” tanya Zara
“Hah? Enggak.” aku menjawab dengan lesu.
“Lo ada masalah Sev?” Zara bertanya lagi. Tapi kali ini dia sudah duduk di sebelahku.
“Hah? Enggak kok Zar”
“Kalau ada masalah bicara aja Sev. Mungkin gue bisa bantu.”
Sejenak sunyi. Kemudian aku mengubah posisi dudukku menghadap Zara. Tak kuat aku melihat wajah polos teman baikku itu. Aku menunduk sambil menutup wajahku dengan sepasang telapak tangan. Aku menangis sejadi-jadinya. Masa bodo siapa yang melihatku seperti ini. Saat ini aku sangat sedih dan tak tahu kepada siapa lagi harus kutumpahkan kegalauanku.
“Sevil ada apa? Lo kok nangis?”
Aku sesenggukkan. Aku semakin menenggelamkan tubuhku.
“Lo tenang dulu ya.” Zara mencoba menenangkanku. Hingga beberapa detik kemudian aku sudah bisa mengontrol perasaanku. Aku mulai tenang dan menghapus air mataku. “Sekarang lo bisa cerita.” lanjut cewek yang rambutnya selalu panjang terurai ini.
“Gue...Gu... Gue kemarin ngliat Aston makan bareng Chelsea.” kata-kataku tak tersusun rapi.
“Serius lo?” Zara terkejut bukan main. Ia sama shocknya dengan ku saat melihat kejadian itu dengan mata kepalaku sendiri. “Mungkin lo salah lihat Sev. Mungkin itu bukan Aston”
“Zara. Gue nggak salah lihat. Mereka memang mereka…” suaraku semakin pelan dan menghilang. “Gue benar-benar benci sama Aston! Gue benci dia! Benci! Benci!!!” Teriakku kesal sambil memukul meja tak berdaya.
Melihatku hampir gila tak karuan, Zara kembali menenangkanku. Dia mencoba mengusap pundakku berkali-kali. Namun yang ada aku justru menangis semakin jadi. Tak ku hiraukan banyak sepasang mata yang memperhatikan kami berdua. Aku tak mau tahu apa yang ada dalam pikiran mereka ketika melihatku. Fokusku sekarang adalah Aston! GUE BENCI ASTON!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

*
Entah apa yang sekarang ada dalam pikiranku. Rasanya tak ada orang yang mengerti diriku. Serasa berjalan di gurun pasir. Sendiri, kesepian, kehausan, kelaparan menyatu tak karuan. Ingin mencari jalan keluar. Tapi tidak pernah menemukannya. Mendekatinya saja rasanya mustahil. Aku terjebak dalam kegalauanku sendiri.
“Sevil” seseorang memanggil dari balik punggungku.
Sepelan mungkin aku menoleh. Ekspresiku datar. Ternyata Aston. Dia terkejut melihat keadaanku. Wajahnya berubah prihatin. Tanpa bicara dia menarik tanganku ke bangku tak jauh dari tempat kami sekarang. Namun tak tahu kekuatan dari mana tanganku memberontak. Ku tahan air mataku yang hampir meledak. Segera langkah kaki ku percepat menjauh dari cowok yang sudah 5 bulan menjadi pacarku itu. Aku masih sakit hati dengan Aston. Aku tak mau bertemu dengannya.
Malamnya, Bunda mengompres dahiku. Aku sakit. Demamku tinggi. Badanku menggigil hebat. Rasanya balok-balok es serasa mengelilingiku. Kelopak mataku terasa berat untuk dibuka.
“Lo sakit apa de?” tanya Kak Fio setelah Bunda keluar dari kamar. Ia langsung berkaca diri di depan cermin. Pakaiannya terlihat rapi. Sepertinya dia ingin pergi. Malam-malam begini?
Aku tak menjawab pertanyaannya
“Sakit hati kali tuh” sahut Kak Fio setengah menggoda. Bikin naik darah saja. Kalau nggak sakit kayak gini udah ku panggil Bunda biar dia di usir dari hadapanku. Apa daya pita suaraku saja seperti tak berfungsi karena lemahnya tubuhku.
“Gara-gara Aston ya? Mungkin dia emang udah jadian kali sama...siapa tuh namanya. Chelsea ya? Iya Chelsea,.” cewek ini mulai cari gara-gara. “Lo sih pake break-break segala! Sok laku lo!” ingin banget tuh anak gue cakar-cakar. “Secara, Aston tuh lumayan ganteng, anak futsal, anak IPA pula. Setia lagi. Apa coba yang kurang. Mungkin kekurangannya cuma satu. Jadian sama lo kali. huaahhhhaaa “ tawanya membahana. Tak disangka aku nangis sejadi-jadinya. Bantal berbentuk bola ku lempar tepat mengenai kepalanya. Lihat saja, kakakku sendiri tak mendukungku. Hatiku remuk serasa dilindas roda bajaj!
“Waduh” ku mendengar keluhannya setelah tangisanku pecah.
Tak tahu dia menyesal atau sekedar menyelamatkan dirinya dari amarah Bunda, Kak Fio segera menghampiriku. Dia bermaksud menenangkanku. “Ade. Gue Cuma bercanda doang kok. Jangan nangis dong. Plis..plis” ucapannya tak bisa menahan raunganku.
“Gue minta maaf de.” kata Kak Fio dengan posisi berlutut di pinggir tempat tidur sehingga kepalanya tepat sejajar menghadap kepalaku.
Aku masih sesenggukan. “Maksud gue tuh. Lo jangan sampai sakit gini cuma gara-gara mikirin Aston dan Chelsea dong. Rugi tau! Rugi waktudan perasaan”
“Mungkin Aston dan Chelsea cuma jalan biasa. Kan kalian lagi break. Nggak mungkin kan Aston memohon ngajak lo jalan. Sedangkan lo sendiri yang minta break. Gengsi euy” Kak Fio mencoba melawak. Tangisanku mulai berhenti. Dia menghapus air mataku dengan tangannya. *so sweet banget.
“Sekarang nggak usah mikirin mereka dulu. Pikirin kesehatan lo. Setelah sembuh baru labrak dia!” sahutnya lebay ala Fitri Tropica. Aku jadi tertawa. Soal lebay memang jagonya kak Fio. “Ya sudah, cepat sembuh ya adikku sayang. Gue mau jalan bareng temen-temen gue. Cao!” setelah mencium keningku dia melenggang keluar kamar. Amarah yang tadi meluap kini surut sudah. Kakak yang aneh. Pikirku singkat dengan senyuman mengembang.

*
Esok setelah pulang sekolah aku tidak dapat pulang tepat waktu, pasalnya hari ini ada latihan band. Kebetulan aku adalah personil dari salah satu band di sekolahku. Merci Band namanya. Aku mengambil alih gitaris. Karena keahlianku itu guru musik di sekolah mengajakku bergabung dengan cowok-cowok yang sudah lebih dahulu berkecimpung di Merci band. Yaitu sebagai vokalis adalah Roma. Bassist adalah Valen. Dan Drummer adalah Kia. Yup, hanya aku yang menyandang cewek tercantik disana. Yaiyalah. Kan hanya aku yang cewek.
Tapi percaya atau tidak, dengan menjadi satu-satuya cewek dalam band sangat mengasyikan. Bisa tampil paling beda sendiri dan tentunya akan menjadi bahan sirikan siswi-siswi satu sekolah karena bisa akrab dengan cowok-cowok yang terkenal dan ganteng-ganteng. Nggak terkecuali frontman bandku. Siapa lagi kalau bukan Roma.
Roma adalah cowok yang paling dekat denganku dibanding Valen dan Kia. Dia cowok yang baik, ramah, seru dan tempat bertukar pikiran. Justru kita sering nge-jam bersama tanpa dua personil lainnya. Namun, karena keakraban kita sekarang aku terjebak dalam perasaan terlarang. Akhir-akhir ini aku menyadari memiliki perasaan yang lebih pada Roma. Padahal aku tahu bahwa masih ada Aston di sisiku. Tapi akibat intensitas waktu yang lebih banyak kuhabiskan bersama Roma membuatku berani untuk mengambil jalan selingkuh.
Dan puncaknya, dua minggu yang lalu aku memutuskan break dengan Aston. Alasanku padanya adalah aku terlalu sibuk dengan bandku. Jadi aku khawatir tak bisa memberinya perhatian khusus. Awalnya Aston menolak dengan keras. Namun setelah aku ngotot bukan main akhirnya dia menyetujuinya. Padahal sebenarnya ini hanya strategiku untuk memutuskan Aston secara perlahan. Aku tak mungkin memutuskannya tanpa sebab.
Dan kejadian Aston makan bersama Chelsea seharusnya menjadi berkah tersendiri untukku. Namun entah mengapa aku malah cemburu seperti ini. Padahal inilah kesempatan yang pas untukku memutuskan hubungan kemi dan menyediakan ruang hati untuk Roma.
Dua minggu itu aku habiskan hari-hariku bersama Roma. Kami sudah bisa dibilang dalam tahap PDKT. Hanya menunggu waktu untuknya agar menembakku. Namun hingga detik ini moment itu tak kujung tiba. Perlahan Roma mulai menjauh dariku. Aku tak tahu pasti apa yang terjadi padanya. Kami yang biasanya mengobrol saat istirahat kini tak lagi seperti itu. Atau yang biasanya ia rutin menelponku setiap malam kini dering telepon darinya tak terdengar lagi.
Seperti hari ini. Kami semua tidak mood untuk latihan. Padahal latihan ini sangat penting untuk menyambut kepala sekolah yang baru. Valen sibuk dengan hpnya. Kia memainkan drumnya tak beraturan. Sedangkan Roma entah kemana. Karena ruangan beraura pasif, aku pun keluar ruangan dan melangkahkan kaki ke kantin. Disana aku memesan minuman dan duduk di kursi sendirian.
Ketika sedang sibuk mengaduk minuman, tiba-tiba seseorang menyapaku dari arah belakang. “Hei, kok belum pulang?” ternyata suara itu berasal dari bibir Aston. Aku mati gaya melihat kedatangannya. Sudah lama tak bertemu dengannya.
“Heh? Iya. Ada latihan band.” Aku pura-pura sibuk mengaduk minuman. “Lo sendiri, belum pulang?”
“Iya ada latihan futsal. Nih baru selesai.” ia menjawab dengan santai. Seakan tidak pernah terjadi masalah diantara kita.
“Ohh...”
“Udah lama ya enggak ngobrol berdua kayak gini. Gemana kabar kamu?” tanya Aston sambil menaruh tas diatas meja. Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya. Kata ‘kamu’ itu membuatku tersentak.
“Baik kok. Lo sendiri?”
“Baik juga.” Lalu a melihat ke arah minumanku. “Bukannya kata Kak Fio kamu baru sembuh sakit? Kok minumnya es sih?” tiba-tiba Aston menjauhkan gelas itu dari hadapanku.
“Sok tahu banget sih lo!” aku menarik kembali gelasnya ke tempat semula. “Lagian sok tahu banget kalau gue baru sembuh.” lanjutku ketus.
“Aku tahu dari Kak Fio. Kamu sih nggak pernah nerima telepon dari aku. Makanya aku telepon Kak Fio untuk nanya keadaan kamu.” dia menjelaskan.
Aku memutar bola mataku. Mencibir. “Emang lo masih peduli sama gue?” aku masih tak menatapnya. “Bukannya lo pedulinya sama Chelsea? Anak cheers.” sahutku ketus. Kali ini aku menekankan kata Chelsea dan cheers agar Aston lebih mengerti arah pembicaraanku.
“Chelsea?”
“Nggak usah pura-pura bodoh deh!”
“Sumpah. Aku nggak ngerti apa maksud kamu.”
Ekspresiku mulai masam. “Halah. Enggak usah bohong deh! Belum lama ini lo makan sama Chelsea di resto kan?!”
“Resto?” Aston berpikir sejenak. “Oh itu. Gue dan Chelsea memang makan di resto. Kita nggak sengaja ketemu.”
Walaupun Aston telah menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Tapi tetap saja amarahku belum redup. Sepertinya inilah saat yang tepat untuk memojokkan Aston. “Tapi mesra banget ya. Sampai nggak ngeliat gue.” Aku mencoba mencari kesalahannya.
“Ya ampun. Aku memang bener nggak ngeliat kamu Sev..”
“Alasan!!!” kataku sambil bangkit dari kursi. “Bilang aja kalau lo udah jadian sama Chelsea!” aku berjalan meninggalkan Aston. Namun dengan secepat kilat dia menyusulku.
“Kamu tuh salah Sev. Aku nggak pernah ada hubungan lebih sama Chelsea. Kita murni sahabat” sambil menyejajarkan langkahnya ia menyangkal.
“Tapi kamu tuh udah deket banget sama dia! Lagian nggak apa-apa kok kalau kamu jadian sama dia. Gue tahu dia cantik, terkenal, anak cheers lagi. Beda sama gue.” kataku tak mau kalah. Aku terus mencari kesalahan Aston agar aku bisa secepatnya memutuskan hubungan kami.
“Oke. Terserah kamu mau bilang apa. Tapi apa bedanya dengan hubungan kamu dan Roma?”
Langkahku terhenti. Aku tersentak mendengar pertanyaan Aston. Kenapa dia bisa bertanya seperti itu. Aku menoleh ke arahnya. Dia menunggu jawabanku.
“Gue sama Roma cuma temenan”
“Sedekat itu cuma temenan?”
“Ya... emang kami...temenan” aku tergagap.
Pembicaraan kita terhenti. Tak ada siapa-siapa diantara kami. Sunyi.
Aston memutar bola matanya. Dia tampak menghela nafas berkali-kali. “Sebenarnya kamu tuh kenapa sih Sev?” ia menatapku dengan serius. “Kayaknya ada yang beda sama kamu. Dari kita break sampai sekarang ada yang kamu sembunyikan kan?” ia mencoba mengontrol emosinya.
Aku yang melihatnya seperti itu nampak kebingungan. Apa yang harus aku katakan.
Setelah beberapa detik, dengan mengalihkan pandangan. Aku menguatkan diri untuk mengatakan yang sebenarnya. “Ton. Sebenarnya.” ujarku gugup. “Sebenarnya gue...gu..e.. gue bosen sama lo!” kata-kata itu meluncur bagai roller coaster dari bibirku. Aku menunduk. Rasanya aku tak tega melihat wajah Aston yang tak berdosa.
“Bosan kenapa?” masih ada jawaban dari cowok itu walaupun lebih pelan.
Kepalaku terangkat. “Bosan aja. Gue juga sadar. Gue nggak pernah sayang sama lo.” Kata-kataku langsung meluncur cepat. “Waktu itu gue nerima lo karena emosi. Dan gue sadar gue nggak sayang sama lo.” aku memberi alasan.
“Lo suka sama cowok lain?” hardiknya.
“Ehm... iya.” Aku menjawab dengan mantap. “Mending kita putus aja. Gue juga udah males break kayak gini. Daripada dipaksain” sahutku acuh tak acuh.
Aston terdiam. Mungkin schok. Aku sempat melihat matanya berkaca-kaca. Tak pernah sebelumnya aku melihat ekspresi Aston seperti itu. Kemudian aku alihkan kedua bola mataku dari pandangan itu. Rasanya aku ingin mengatakan maaf. Namun bibirku sangat kelu. Aku menggenggam erat tangkai tasku.
“Oke kalau itu mau lo. Gue harap lo nggak salah ambil keputusan.” ujar Aston pelan. Dia segera kabur dari penglihatanku. Langkah tegapnya kini tak akan pernah lagi setia di sampingku. Kami telah putus.
Aku segera tersadar dari lamunanku melihat cowok yang sekarang resmi menjadi mantanku itu. “Ternyata ngomong seperti itu nggak susah-susah amat” kataku dalam hati. “Yang penting gue udah resmi putus dari Aston. Sekarang gue bebas!!!! Yes, inilah saatnya....” lanjutku berbicara dengan hatiku sendiri. Kali ini senyuman puas mengembang di bibirku. Sungguh setelah melakukan itu, aku sungguh merasa lega dan bahagia. Aku bak burung yang baru lepas dari sangkarya dan tak memikirkan hati sang pemilik burung.
Kemudian aku melangkah mantap ke ruang seni untuk menemui Roma. Akan kuceritakan status terbaruku padanya. Aku yakin dia pasti senang dan tak perlu menunggu waktu lama lagi untuk menembakku.
Hingga beberapa langkah lagi tiba di mulut pintu ruang seni aku justru melihat Roma melenggang tergesa-gesa ingin meninggalkan ruang seni. Segera ku panggilnya.
“Rom, emang latihannya udah selesai?”
“Hei, lo kemana aja. Gue cari-cari” katanya. Dia membuatku tersanjung. “Latihannya di cancel. Valen dan Kia pada cabut. Katanya ada urusan.”
“Ohh...Tadi gue baru dari kantin.” Aku sedikit salting. “Oya, ada yang mau gue ceritain sama lo sekarang”
“Hah?” Roma agak terkejut. “Aduh, kalau sekarang gue nggak bisa Sev.” Aston menolak.
“Emang kenapa?!” aku pun tak kalah terkekejut hingga nada suaraku naik 3 oktaf.
“Gue...gue ada urusan...” Aston sedikit gugup. Apa yang ingin ia katakan. “Aduh gimana ngomongnya ya...” dia bicara pada dirinya sendiri. Aku masih menunggu penuh heran. “Sebenarnya sekarang gue bakal pulang bareng Regina.” dia sedikit berbisik ke arahku.
“Regina? Pulang bareng?” sangat lirih aku mengatakan 3 kata itu. Regina anak cheers.
“Iya... kemarin gue nembak dia Sev.” Kali ini aku melihat bara semangat di bola matanya. “Dan sekarang katanya dia mau kasih jawaban! Gue deg-degan banget Sev! Doain gue ya. Semoga aja dia mau nerima gue jadi pacarnya” seakan-akan harapan yang diucapkan cowok berkulit putih ini menohok ulu hatiku hingga menembus tulang punggungku.
Aku terpaku di hadapannya. Seharusnya aku senang bila lelaki pujaan hatiku ini senang. Namun rasanya mata ini tak dapat ku pejamkan. Seakan-akan mendengar guntur di siang bolong. Keegoisan dalam diriku jauh lebih mendominasi emosiku. Mataku layu. Jantungku seakan berhenti. Darahku rasanya tersumbat. Kakiku seolah membeku. Ingin rasanya aku memberontak pada Roma. Kenapa harus Regina! Apa maksudnya selama ini kau memberikan harapan padaku?! Ingin rasanya aku segera menghilang dari tatapannya. Aku sakit. Hatiku sakit sekali.
Roma melihat jarum jam tangannya. “Sori banget ya Sev. Gue buru-buru. Gemana kalau nanti malam gue ke rumah lo atau telepon lo. dada” dia melambaikan tangannya meninggalkanku sendiri di tengah-tengah lorong yang dingin. Dia tak akan pernah tahu isi hatiku. Dan dia menganggapku hanya sekedar teman. Padahal aku menganggapnya sangat lebih dari itu.

*
Malam harinya aku mengurung diri di kamar. Tak kubiarkan siapa pun menggangguku kali ini. Meskipun Bunda dan Ayah memanggilku terus-menerus untuk sekedar makan, aku tak mempedulikannya. Atau usaha kak Fio yang pura-pura sudah mengantuk dan ingin tidur, aku pun tak menggubrisnya. Hari ini sungguh menyakitkan.
Sekarang disampingku ada segulung tisu. Sedari tadi aku menangis atas kesalahan yang ku perbuat. Aku telah memutuskan hubungan yang tak berdosa dengan Aston hanya untuk mendapatkan sebongkah hati dari pria yang ternyata tak pernah menyimpan perasaan lebih terhadapku. Betapa sakitnya hatiku.
Namun setelah ku berpikir panjang, sakit hatiku ini tak ada apa-apanya dengan sakit yang dirasakan Aston. Dia telah aku putuskan dengan sangat tidak terhormat. Dia yang tak pernah memliki salah justru yang menanggung ini semua. Ternyata air mata yang aku jatuhkan adalah untuk Aston. Aku tahu aku telah salah memutuskannya. Ini gara-gara hasrat terlarang mendapatkan Roma. Sekarang aku harus menganggung akibat semuanya. Aku tak mendapatkan siapa-siapa. Tak ada Aston yang selalu siap bersamaku, begitu pula Roma yang selalu menghiburku. Aku sungguh merugi. Kini aku sangat menyesal. Aku salah memprediksi semuanya.***

You were busy


You were busy

When the spring arrives
When the summer passed
When the autumn ahead
When the winter turn to go
You go out fast
Meke me frozen
See my foolish in the real world
In the tight mind
I wish you were here beside me

  • Always everyday
Always leaves me
Always be eager to catch your dreams
Always don’t care about me
You were busy

I am your soul
I miss you and I need you
But you never turn away from your duty
You were busy for me

The clock is ticking gradually
Too quiet around of me
So that I can hear the trob of my heart
And when you come
You take another way
You don’t even look at me
You just keep your move
Can’t you realise I am the one who always waits you?

You rejected my call
You didn’t reply my messages
And throw me in the deepest hole
Like the trash in your life
I miss your self in the past
What’s wrong with you?
You were busy for me

You have changed